“Sudah
baca SMS saya?” tanya Kepala Sekolah di
pagi yang dingin menusuk tulang itu.
“Belum”
jawabku singkat.
Ada
sedikit rasa sesal karena tadi malam lupa membuka SMS yang masuk.Maklum saat
berdering nada SMS itu saya sedang
"bergumul" berbuka puasa.Nikmat sekali.
Kata para ustaz satu nikmat yang diberikan di dunia kepada orang berpuasa adalah nikmat
saat berbuka.Mister Kep- begitu sering saya memanggil Kepala Sekolah saya -
ternyata menginformasikan tentang penandatanganan tanda terima sertifikasi periode ini. Periode ke 2
tahun ini.
Bagiku
ini pertama kali aku tanda tangan.Ada semacam keinginan tersendiri untuk melihat situasi dan "sensasi: baru ini.
Periode yang lalu tak sempat.Saya diajak
ke Surabaya oleh Kepsek untuk suatu urusan penting juga.Saya minta teman
yang menanda tangankan. Beres, tak ada kendala. Ternyata saat dia mencari nama saya
untuk menandatangankan malah sudah ada tanda tangan terisi.Mungkin saja teman lain yang melakukannya. Teman-teman guru SMPN 1 Sembalun ini memang harus ditiru soal sifat tolong-menolongnya. Kali ini kurang enak meminta teman menanda
tangankan.Sekarang memang tak ada halangan seperti tiga bulan yang lalu.
Sayapun berangkat setelah memberi tugas kepada ketua kelas.Pada periode yang lalu seorang teman guru di Kabupaten Sumbawa pernah cerita bahwa dia tidak perlu berjubel menanda trangani berkas di Dinas.Apalagi sampai meninggalkan sekolah beramai-ramai. Tinggal dicek di
rekening.Sebab dananya berasal dari pusat.Berbeda.Kalau benar begitu berarti beda kabupaten beda juga gayanya memberi "santunan" ini.
Perjalanan
turun gunungpun dimulai.Membelah gunung melewati dinginnya hutan.
Menaklukkan jalur Pusuk yang menanjak terjal. Menelusuri dengan waspada belokan-belokan
yang kadang-kadang dikagetkan kendaraan
lain dari arah depan secara tiba-tiba.Nah di jalur khusus ini jangan menghayal.
Harus menembus beberapa “pos penjagaan” bocah-bocah penambal jalan berlubang
dengan berbekal cangkul kecilnya. Satu
saja harapannya mungkin ada orang yang terketuk hatinya memberikan uang
seadanya. Mereka tak pernah memaksa. Ada juga yang lain menawarkan pakis yang dipetiknya. Mungkin ada
yang berminat membelinya.Mereka datang ke tengah hutan yang sepi ini dengan jalan kaki atau menumpang kendaraan orang yang lewat
yang bersedia memberi tumpangan.Dengan wajah sedih yang memang sesungguhnya
menanggung derita kekurangan disimpannya
rasa malu dan iapun meminta. Terenyuh juga berhadapan dengan mereka. Polos tapi
butuh uang untuk sekedar membeli
panganan berbuka puasa.Jika ada uang berikan seadanya. Lihat binar di matanya
mereka senang sekali menerimanya. Mereka meminta sedikit
saja.Ternyata mereka hadir di tengah hutan yang sunyi ini untuk memberi
kesempatan kepada kita untuk berbagi di bulan puasa ini.
Waktu zuhur
tiba saat sampai di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lombok Timur. Selesai solat baru
mendapat kesempatan tanda tangan. Semua berjala lancar sebab dibagi menjadi beberapa meja yang berjejer melayani.Pelayanan juga
dibagi dalam beberapa hari. Yang bertugas juga karyawati yang masih muda-muda.Mereka melayani dengan penuh santun dan kelembutan.
Mungkin disengaja sebagai antisipasi emosi yang kadang-kadang bisa meletup tak
terkendali.Dalam dekade terakhir ini sikap orang Indonesia memang agak berubah
menjadi kurang sabaran. Hal itu tak diharapkan terjadi pada para guru kecuali sedikit saja yang bertempramen agak tinggi.
Saat seperti
ini biasanya menjadi ajang untuk reuni. Saling mengingatkan masa lalu.Bertemu teman
sekolah atau teman satu kost. Berjumpa teman yang dulu sering memberi pinjaman uang atau sebaliknya. Biasalah kehidupan anak kost tempo dulu.
Sempat bertemu teman yang satu kost dulu.Saya menjulukinya sebagai Demonstran Tunggal.Dia tidak pernah betah di suuatu sekolah karena kepala sekolah selalu tidak tenang karena ulahnya.Dia tidak akan membiarkan suatu yang dianggap ganjil dan berusaha menggeliat menentang hegemoni kepala sekaolah,walaupun hanya seorang diri.
"Masih jadi demonstran?" pancing saya.
"Ya, akan terus saya lakukan bila ada ketidakadilan di sekolah saya" jawabnya mantap.
"Di Palestina orang mempertaruhkan nyawa untuk menegakkan haknya. Kalau saya hanya dipindah pindah ngajar saja" jawabnya bersemangat seperti dulu.
Ada teman yang baru sekarang berjumpa setelah lebih dari 20 tahun tak pernah bertemu.Saling tanya berapa anak berapa istri. Saling berbagi cerita tentang kebutuhan yang selalu meningkat karena anak sekolah.Ternyata ujuang-ujungnya berapapun gaji tak pernah cukup bila tak dicukupkan.
Sempat bertemu teman yang satu kost dulu.Saya menjulukinya sebagai Demonstran Tunggal.Dia tidak pernah betah di suuatu sekolah karena kepala sekolah selalu tidak tenang karena ulahnya.Dia tidak akan membiarkan suatu yang dianggap ganjil dan berusaha menggeliat menentang hegemoni kepala sekaolah,walaupun hanya seorang diri.
"Masih jadi demonstran?" pancing saya.
"Ya, akan terus saya lakukan bila ada ketidakadilan di sekolah saya" jawabnya mantap.
"Di Palestina orang mempertaruhkan nyawa untuk menegakkan haknya. Kalau saya hanya dipindah pindah ngajar saja" jawabnya bersemangat seperti dulu.
Ada teman yang baru sekarang berjumpa setelah lebih dari 20 tahun tak pernah bertemu.Saling tanya berapa anak berapa istri. Saling berbagi cerita tentang kebutuhan yang selalu meningkat karena anak sekolah.Ternyata ujuang-ujungnya berapapun gaji tak pernah cukup bila tak dicukupkan.
Saya teringat
kisah Sahabat Abu Bakar Radallahu Anhum saat menjadi khalifah. Istrinya
ingin makan manisan. Mungkin seperti dodol sekarang.Disisihkannya gaji suaminya yang diberikan dari baitulmal setiap
bulan. Baitulmal berupa rumah tempat menyimpan harta yang dipungut dari zakat
kaum muslimin, semacam BAZDA sekarang ini.Tapi gedungnya tentu tidak semewah
BAZDA . Setelah beberapa bulan dan dirasa cukup untuk membeli bahan manisan
diberitahulah suaminya tentang
rencananya.
“Aku
menyisihkan gaji Khalifah beberapa bulan untuk membuat manisan”begitulah
kira-kira kata istri Abu bakar Radallahu Anhum
”Mana uang
yang berhasil kau sisihkan dari gajiku
itu?”Abu Bakar Radiallahu Anhum bertanya pada istrinya.
Istrinya
memberikan uang itu dengan senang hati.
”Ternyata gaji
saya melebihi keperluan kita sekeluarga. Buktinya kau bisa menyisihkannya.
Sekarang uang ini akan kukembalikan ke baitulmal lagi”Abu Bakar Radiallahu Anhum
menegaskan.
Sejak saat itu Khalifah mengurang gajinya
dengan sejumlah uang yang disisihkan istrinya untuk rencana membeli manisan
tersebut.Padahal jumlah gaji awalnya sama dengan tunjangan yang diberikan
kepada sahabat-sahat lain yang tergolong miskin.Menjelang akhir hidupnya ia
menyuruh keluarganya mengembalikan semua uang yang pernah diterima dari baitulmal.